Jumat, 14 Desember 2012

NENEK-KU, YANGTI-KU, MBAH PUTRIKU (16 Juni 1918 – 15 Desember 2012)


Oleh : Manik Priandani

Berita kepergianmu pagi ini
Sabtu, 15 Desember 2012
Pada jam  06.30 WIB atau 07.30 WITA
Terdengar biasa dan wajar
Usiamu pun telah menjelang  95 tahun

Kuambil air wudhu
Kubasuh mukaku
Tak terasa air mataku pun merebak
Meleleh...
Kutahan tak bersedih
Nyatanya akupun sedih

Terkenang ketika beliau masih kuat
Masih mampu menjengukku
Saat aku sakit maupun senang
Membelikanku pernak-pernik
Yang selalu aku hilangkan
Dan beliau belikan lagi gantinya
Tanpa ada rasa bosan

Mengajakku berjalan kaki ke sawah
Melalui hutan bambu berhumus
Memanen lombok dan tomat
Memetik bayam dan memanen jagung
Untuk dibuat sayur bening yang nikmat

Terasa nyaman tidur di sebelahnya
Dengan bau kamar beliau yang khas
Bau wangi hazeline snow dan bedak marsk
Bercampur dengan bau kayu cendana
Tangan halus nyaman disentuh
Suara lembut saat bercerita
Membuatku selalu lelap di sisinya

Terbayang kemudian
Bagaimana kau tabah
Menikmati kesepianmu
Kesendirianmu walau kau selalu ingin
Ingin bercengkerama dengan kami
Anak, cucu, dan buyut...

Kegiatanmu saat sendiri
Membaca majalah dan novel,
Dan mengisi TTS,
Merenung,
Dan menunggu
Kerabat datang

Duduk di kursi kayu
Menghadap halaman samping rumah
Yang  kadang terlihat bunga anggrek
Kadang bunga mawar dan soka
Dan langit di sana
Kadang terlihat cerah
Kadang terlihat mendung
Ke mana dan kapan mereka datang
Anak, cucu, buyut, saudara dan teman-teman

Teman-temanmu seangkatan
Teman bercengkerama
Guyonan,
Mengingat masa muda dulu
Tentang lagu kesukaan....Terang Bulan
Tentang bintang idola....Gregory Peck
Ke mana melancong di malam minggu
Siapa teman ke Pasar malam
Puluhan tahun lalu
Telah pergi satu persatu
Meninggalkanmu sendiri
di dunia ini

Saudara kandung
Saudara sepupupun
Tlah tiada

Anak, cucu, dan buyut
Sibuk dengan kegiatan dunia
Bergelut dengan nasib dan kehidupan
Aku menunggu
Apakah mereka akan datang
Dan menemaniku
Namun semua hal yang mereka bicarakan
Jauh dari kesenangan yang kurasakan
Mereka sudah memiliki dunianya sendiri

Dan kaupun merasa demikian
Sepi....

Kau tunggu waktu
Kau hitung hari

Dan kini
Malaikat-malaikat itu pun datang
Dengan wajah-wajah teduh dan tenang
Walau begitu tetap membuatku gelisah
Tetapi aku harus tetap pasrah
Karena memang ini kehendak Allah

Selamat datang para malaikat
Sekarang aku telah siap
Kukenang betapa banyak cerita dunia
Yang rasanya hanya kujalani sekejap
95 tahun tak terasa demikian cepat

Sugeng tindak Mbah Weru
Sugeng menghadap Sang Khalik
Semoga kebahagiaan abadi menyambutmu
Sampai bertemu lagi
Di  usia yang sama 35 tahun
Di padang keadilan nanti

Amin ya robbal a’lamin.

Cucumu, Manik Priandani

(Untuk Eyang Putriku (Ibunya Ibuku) : Sumari, lahir tanggal 16 Juni 2018, wafat tanggal 15 Desember 2012, jam 06.30 WIB di Semarang)

Bontang, 15 Desember 2012, Menjelang Dhuhur.

Sabtu, 25 Februari 2012

SELAMAT JALAN SAHABAT

Oleh : Manik Priandani


Selamat jalan

Ini bukan perpisahan untuk kematian
Malah awal kehidupan

Selamat jalan

Menyongsong hidup yang lebih terang
Melakukan hidup yang lebih bermakna
Mengaplikasikan pengetahuan dengan penuh rasa

Selamat jalan

Di tempat barumu kau kan lebih bergairah
Mengejar asa pasti
Menguntai kesibukan yang berarti
Memacu adrenalin dan hati

Selamat jalan

Di sana gairahmu yang menggelak
Tertampung secara optimal tak sia-sia
Menjadi sebuah karya yang berguna

Selamat jalan

Optimalkan kemampuanmu
Efesienkan energimu
Hasilkan produk yang optimal
Kuyakin kau kan lebih berarti
Bagi kemajuan bangsa ini

Selamat jalan

Selagi masih muda
Selagi banyak asa
Selagi mampu dan kuasa

Selamat jalan

Kemilau sukses menantimu
Ridlo Allah menyertaimu

Amin

(MP, Puisi kilat untuk saudara dan sahabat berinisial FA, 24 Februari 2012)

Jumat, 25 November 2011

PERCIKAN

Oleh : Manik Priandani

Puluhan juta detik lalu
Kurasa getar itu ada
Muncul tiba-tiba
Melayang
Menghantam
Memercik
Meledak
Lalu sirna…..

Sungguh
Hanya sepersekian detik
Di puluhan juta detik lalu
Tak lebih kurasakan
Dan tak kulapakan itu

Keangkuhan meniadakan
Kesombongan menyelubungi
Keakuan menghambarkan
Ketakacuhan memadamkan
Kejengkelan mengantipati

Ah....
Puluhan juta detik lalu
Kukira tlah padam semua
Tak bersisa sepercik nyalapun
Namun...
Sepersekian detik lalu
Muncul setitik percikan
Akankah?

Bontang, MP, 25 November 2011

Jumat, 16 September 2011

HIDUP

Oleh : Manik Priandani

Aku bersyukur masih bisa melihat Bulan
Aku bersyukur masih bisa bernafas

Bulan tidak harus berwarna merah
Bulan tidak harus berbentuk bundar
Bulan tidak harus berukuran besar seperti tampah

Kulihat Bulan berwarna putih
Kulihat Bulan tak bulat sempurna
Kulihat Bulan samar membayang
Kulihat Bulan kecil di langit terang

Kuhirup udara ini dengan bebas
Sambil melihat ke atas
Bulatan putih terabaikan
Terdiam di pojok langit
Energi habis oleh geliat hidup

Aku masih melihat bulan redup
Aku masih diberi hidup


Bontang, 16 September 2011

DUNIA

Oleh : Manik Priandani

Di sini memang tak perlu bicara keadilan
Di tempat ini memang tak perlu keluh kesah
Di planet ini sekaligus tak perlu tanpa asa
Di bumi biru ini tak perlu menghitung serius
Di alam fana ini juga tak perlu terlena
Di sini tak perlu berlebihan
Di bagian alam semesta ini jangan tuntut keabsolutan
Dan di sini hanya perlu tuntutan keseimbangan
Dan suatu ketika perlu ikhlas melebihkan

Imbang dalam menghadapi kegembiraan dan kesedihan
Imbang dalam menyikapi keinginan dan ketakinginan
Imbang dalam melihat diri dan di luar diri
Imbang dalam menghadapi penerimaan dan penolakan
Imbang dalam menilai diri sendiri dan orang lain
Imbang dalam mengukur sesuatu dengan yang lain

Lebihkan antara nafsu baik dan buruk
Positifkan antara syukur dan kufur
Perbanyak selisih antara hak dan batil
Perlebar jarak antara kejelasan dan kesamaran
Pertegas batas antara ya dan tidak

Rasanya semuanya menjadi nyaman untuk dilalui
Karna ada batas yang tegas menentramkan
Walau godaan banyak melambai

Lambaian kemarahan
Lambaian kekufuran
Lambaian ketidaksyukuran
Lambaian penghujatan
Lambaian fitnah
Lambaian keiridengkian
Lambaian prasangka
Lambaian rajutan bisikan

(Aku berlindung kepadaMu ya Robbi
Dari bisikan maupun provokasinya
Hanya Engkaulah Yang Maha Kuat dan Maha Mengalahkan)


Bontang, 16 September 2011

Rabu, 08 Juni 2011

MELODY RASA

Manik Priandani

Selembut nafas bayi
Segemulai liukan penari
Sehalus bisikan peri
Bak alunan melody
Meresap ke dalam hati

Hantaran sinyal lembut
Menusuk kalbu sendu
Membelai jiwa kelu
Menghangatkan suasana bisu
Mengurai mimpi lalu

Alunan sukma merekah
Merah bukan darah
Panas bukan marah
Terjaga dalam gerah
Tertunduk hilang gairah

Melodi-melodi itu
Terus bersahutan
Mengikuti detak waktu
Saling berkejaran
Lintang pukang
Dan tak ‘kan diam
Hingga sukma ini menghilang

Entah
Kapan terdiam
Atau ‘kan terus berdenting?


Bontang, Manik Priandani, 08 Juni 2011

Rabu, 15 Desember 2010

SANG EMPU

Oleh : Manik Priandani


Ibu
Sang Empu

Ibu
Sang Empu

Ibu
Sang Empu

Ibu
Mama
Mami
Mamak
Mak
Embok
Biyung
Bunda
Mother
Mom
Apapun aku harus menyebutnya
Seberapa sulit namamu kueja
Di saat kumerambat dan merangkak
Di saat kubelajar berteriak
Di kala aku balita
Di kala aku suka dipeluk di dada

Ibu
Mama
Mami
Mamak
Mak
Embok
Biyung
Bunda
Mother
Mom
Apapun aku harus menyebutnya
Seberapa sulit namamu kueja
Kau selalu ada
Di sisiku yang papa
Yang selalu butuh penyangga
Di kala kuberanjak remaja

Ibu
Mama
Mami
Mamak
Mak
Embok
Biyung
Bunda
Mother
Mom
Apapun aku harus menyebutnya
Seberapa sulit namamu kueja
Sosok empu perkasa
Induk pemelihara
Cikal bakal yang sangat bermakna
Pelindung anak hingga dewasa

Ibu
Kau Sang Empu
Pengorbananmu tak sebanding asaku
Jasamu tak sebanding hasilku
Kesabaranmu tak sebanding langkahku
Keberhasilanmu tak sebanding perolehanku
Kasih sayangmu tak sebanding pemberianku
Dan aku tak sebanding sosokmu

Ibu
Sang Empu


Bontang, Manik Priandani, 16 Desember 2010 (menjelang Hari Ibu, 22 Desember 2010). Untuk Ibuku : Soeprapti Gatot, yang selalu kuat dan optimis menjalani lika-liku kehidupan ini.